Kompensasi Pelebaran Jalan Ditunda
BENGKULU, BE - Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu, kemarin (20/1) kembali menggelar hearing dengan pihak terkait, seperti Dinas Tata Kota dan Bengunan Kota Bengkulu, Dinas Pekerjaan Umum kota dan Provinsi Bengkulu, dan pihak Balai Besar pelaksanaan Jalan Nasional III Wilayah Bengkulu serta Asisten II Pemprov. Namun hearing yang segogyanya membahas kompensasi atau ganti rugi terhadap masyarakat yang terkena dampak pembangunan jalan dua jalur simpang Pagar Dewa - Simpang Kandis, Kota Bengkulu ini terpaksa ditunda karena Kepala Dinas PU Provinsi Azwar Boerhan, Asisten II Ir Edy Waluyo SH MM dan Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III Wilayah Bengkulu tidak hadir. Masing-masing SKPD tersebut hanya mengirimkan bawahannya. \"Rapat kita tidak bisa kita lanjutkan, karena pengambil kebijakan (Kepala SKPD, red) tidak hadir,\" ungkap Ketua Komisi III, Suharto SE. Ia mengungkapkan, rencananya pihaknya akan membahas besaran kompensasi yang akan diberikan kepada warga di sepanjang Jalan RE Martadinata yang terkena dampak pembangunan jalan tersebut. Karena berdasarkan hasil kunjungan yang dilakukan Komisi III ke Kementerian PU baru-baru ini, bahwa ada anggaran untuk kompensasi tersebut. \"Ini perlu duduk bersama untuk memutuskan kompensasi tersebut, jika kepala SKPD-nya tidak hadir, maka keputusan pun tidak bisa diambil,\" ujarnya. Senada juga disampaikan anggota Komisi III, Khairul Anwar, yang juga sangat menyayangkan ketidakhadiran para pejabat pemerintahan tersebut. Selain itu, ia juga menyesalkan tidak ada koordinasi antara pihak balai dengan DPRD, khususnya komisi III. \"Makanya setiap pembangunan itu harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan komisi III. Jangan seperti ini, masalah itu baru diketahui komisi III setelah adanay polemik mengenai lahan yang akan digunakan,\" sesalnya. Disisi lain, ia juga sangat menyayangkan sikap Dinas PU dan Tata Kota Bengkulu yang langsung membawa alat berat ratusan anggota Satpol PP ke lokasi tersebut untuk melakukan pembongkaran paksa. Menurutnya, meskipun warga tersebut mendirikan bangunan diatas tanah pemerintah, namun pihak pemerintah sedniri tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Karena masyarakat sendiri tidak mengetahui bahwa bangunan yang dibangunmya telah melanggar Garis Sepadan Pagar (GSP). \"Masyarakat awam tidak mengertai adanya GSP, yang tahu hal itu adalah pemeritah Kota Bengkulu. Pertanyaannya, mengapa tidak ditegur atau dilarang ketika masyarakat mulai membangun di atas tanah pemerintah tersebut, mengapa baru sekarang,\" tanyanya. Untuk itu, ia meminta sebelum ada kejelasan mengenai kompensasi terhadap 48 bangunan warga yang akan dibongkar tersebut, tidak ada pembongkaran oleh siapapun. \"Kami minta semuanya ditunda. Pembongkaran baru dilakukan setelah pembahasan kompensasi ini tuntas,\" tegasnya. Sementara itu, perwakilan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III Wilayah Bengkulu, Erlan Udiharjo mengaku akan menyampaikan hasil rapat tersebut kepada pimpinan Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III Wilayah Bengkulu. \"Beliau tidak hadir karena ada urusan mendadak, dan hasil rapat ini akan saya sampaikan kepada beliau,\" ujarnya. Erlan juga mengatakan, pembangunan jalan dua jalur tersebut saat ini dalam proses pelelangan dengan anggaran yang diberikan Kementrian PU sebesar Rp 11,59 miliar. Untuk tahap pertama ini, jalan yang dibangun dilangsung sampai ke simpang Kandis, melainkan hanya 1 Km dengan dua jalur. \"Saya rasa kompensasi dari Kementerian PU itu sulit didapat, karena saat pengusulan beberapa waktu, kita menyatakan bahwa lahan sudah tidak ada masalah lagi dan dana yang dikucurkan itu hanya untuk pembangunannya saja,\" akunya. Untuk mencarikan solusinya, Erlan pun menyatakan pihaknya akan membebankan konvensasi tersebut kepada kontraktor yang memenangkan tender pengerjaan jalan itu. Di bagian lain, Ketua Forum Masyarakat Terkena Dampak Pembangunan Jalan RE Martadinata, Haulan Ismadi mengatakan, pihaknya tidak menentukan besaran kompensasi yang diingini warga. Yang jelas ada kompensasi untuk biaya pembongkaran bangunan miliki mereka untuk dipindahkan ke tempat lain. \"Besaran kompensasinya kami serahkan kepada pemerintah, karena kami sadar bahwa bangunan kami itu memang tidak memiliki dokumen yang lengkap karena dibangun di atas tanah negara. Kompensasi yang kami tuntut itupun hanya kemanusiaan saja agar kami dapat memindahkan bangunan untuk dimanfaatkan kembali,\" paparnya. (400)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: