Bolehkah Membatalkan Nikah, Gara-gara Istri Tidak Perawan?
menurut al-Syafi‘i, ketidakperawanan bukan sebuah cacat bagi pernikahan, sehingga suami tidak berhak melakukan fasakh, tidak pula ada hak untuk menarik mahar. --
Artinya: Hak faksakh juga ditetapkan akibat tak terpenuhinya kriteria yang diinginkan sewaktu akad. Contohnya, laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan cantik, tapi ternyata ia tidak cantik. Atau, orang yang ingin menikah dengan perempuan terpelajar, ternyata ia orang awam. Atau, orang yang ingin menikah dengan perawan, ternyata ia seorang janda (tak perawan). Maka suami memiliki hak fasakh. Selain itu, si istri juga tidak memiliki hak mahar jika fasakh dilakukan sebelum bergaul suami-istri, atau setelah bergaul tapi penyebab penipuan datang dari si perempuan sendiri. Sedangkan jika penipuan datang dari orang lain maka si suami boleh menarik apa yang diberikan kepada si perempuan melalui orang lain tersebut. Kemudian jika dilakukan fasakh, maka fasakh-nya—menurut pendapat yang paling sahih—disyaratkan harus diajukan lebih dahulu kepada hakim (pengadilan), agar hakim mengambil keputusan setelah menimbang perkaranya. Namun ada pula yang membolehkan fasakh tanpa melalui hakim, sebagaimana khiyar dalam jual-beli, terlebih jika keduanya sudah merelakan fasakh karena cacatnya jelas-jelas dianggap fatal dan membatalkan pernikahan (lihat: Hasyiyah Qalyubi, [Darul Fikr: Beirut], 1995, jilid 2, hal. 265).
BACA JUGA:TERBUKTI MEMBAYAR! 17 Game Penghasil Saldo DANA dan OVO Terbaru, Langsung Cair ke Dompet Digital
Kendati sang suami memiliki hak khiyar (opsi) untuk membatalkan pernikahan, tetapi hak itu bisa gugur bilamana dirinya meridhai kekurangan istrinya, sebagaimana yang dikemukakan Syekh Zakariya al-Anshari. Siapa saja rela akan cacat atau kekurangan istrinya, maka gugurlah khiyar fasakh-nya walaupun kekurangan itu terus bertambah. Sebab, keridhaan atas kekurangan pertama, berarti keridhaan atas kekurangan yang lahir darinya. Lain hanya jika muncul kekurangan yang lain, maka khiyar fasakh akibat kekurangan lain itu tidak gugur. (Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thalib, [Beirut: Darul Kutub], t.t., jilid 3, hal. 178).
Dari uraian petikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan pelajaran, antara lain:
• Menurut Imam al-Syafi‘i, sah hukumnya menikahi perempuan yang pernah berzina. Namun, sebagian ulama mempersyaratkan, menikahinya setelah si perempuan bertobat. Sebab, pernikahan bukan sekadar memenuhi kebutuhan naluri dan fitrah, tetapi juga melahirkan generasi yang baik, merajut kebahagiaan, dan diorientasikan untuk meraih kebahagiaan akhirat.
BACA JUGA:7 Cara Laris Jualan dan Banjir Orderan di TikTok Shop, Wajib Coba!
• Masih menurut al-Syafi‘i, ketidakperawanan bukan sebuah cacat bagi pernikahan, sehingga suami tidak berhak melakukan fasakh, tidak pula ada hak untuk menarik mahar. Hanya saja ia boleh memilih untuk melanjutkan atau mengakhirinya dengan perceraian. Hak cerai ini, sejatinya memberikan hak-hak lain kepada istri yang dicerai, seperti hak nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak rujuk, semasa iddah.
• Berbeda dengan al-Syafi‘i, Ibnu Shalah dan Syekh Zakariya al-Anshari, yang keduanya juga pengikut mazhab al-Syafi‘i, secara tegas memasukkan ketidakperawanan sebagai cacat yang memperbolehkan suami melakukan fasakh. Silang pendapat ini harusnya membuat kita semakin dewasa, toleran dalam menyikapi perbedaan, dan leluasa memilih pendapat paling mungkin dan lebih sesuai dengan kemaslahatan bersama.
BACA JUGA:Pelopor Keselamatan Dalam Berkendara, Astra Motor Bengkulu Mengadakan Edukasi Safety Riding
• Pendapat yang membolehkan suami melakukan fasakh setelah menikah dengan perempuan yang tidak sesuai dengan keinginannya, juga memberi pelajaran kepada para gadis dan remaja putri untuk menghormati institusi pernikahan. Pergaulan bebas yang menyebabkan mereka hilang keperawanan sebelum saatnya berimbas pada kekecewaan suami sah mereka kelak yang bisa saja si suami memanfaatkan hak fasakh-nya. Akibatnya, wanita kehilangan kehormatan dan mengalami kerugian akibat pernikahannya dibatalkan dan maharnya dikembalikan.
• Fasakh nikah sebaiknya melalui lembaga pengadilan, menurut pendapat kuat, kecuali sebab fasakh-nya kuat dan mendapat kerelaan dari kedua belah pihak.
• Hak fasakh suami menjadi gugur bilamana ia meridlai kekurangan atau cacat yang dimiliki istrinya.
BACA JUGA:Dibanderol Lebih Murah, Motorola Razr 40 Ultra Bakal Jadi Pesaing Samsung
Demikian diskusi singkat dan ragam pendapat tentang hak fasakh suami yang mendapati ketidakperawanan istri yang baru dinikahinya. Semoga, ketika hak ini diambil, suami bisa menggunakannya secara bijak, berasaskan maslahat, dan tak disalah-gunakan untuk merendahkan martabat atau melukai perasaan siapa pun. Semoga bermanfaat.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: