Machmud Yunus, Soekarno dan Cerita Gerilya

Rabu 10-11-2021,11:43 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Bekas luka karena terkena peluru di bahu kirinya, ketika bertempur melawan Belanda di Muara Enim Sumatera Selatan (tepatnya diantara Kertajaya dan Pendopo) menjadi bukti kecintaannya pada ibu pertiwi. Perannya dalam perjuangan kemerdekaan diakui negara, dia tercatat sebagai veteran perang dengan nomor veteran 6.005.543, sebagaimana tertuang dalam SK Nomor : 925/VIII/1981 yang ditandatangani Laksamana Sudomo.

MASA KEMERDEKAAN

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, lalu dia pindah ke pulau Jawa. Walaupun sebelumnya dia tercatat pernah menjadi Ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia) Bengkulu Selatan tapi tidak diketahui persis mulai kapan dan mengapa dia kemudian bisa masuk dalam lingkaran inti elit PSI.

Beberapa kali Sumitro Joyohadikoesoemo sempat berkunjung ke rumah yang disewa Machmud Yunus didaerah Bondongan Bogor. Kemampuan manajerial dan penguasaan bahasa asing (Belanda, Jepang dan Inggris) menjadi pertimbangan Anak Agung Gde Agung Mendagri yang menjabat dari 20 Desember 1949 s. d 06 September 1950 memberi tugas khusus pada Machmud Yunus di Depdagri namun demikian dalam kesehariannya dia tidak pernah terlihat memakai baju dinas.

Tapi dinamika politik saat itu berubah, pasca-Sutan Syahrir berhenti sebagai Perdana Menteri. Orang-orang PSI mulai tersingkir dari pemerintahan. Apalagi menghadapi kenyataan bahwa PSI kalah telak pada Pemilu 1955. Dari sinilah konflik orang-orang PSI dengan Soekarno makin meruncing, apalagi dalam pemberontakan PRRI, Masyumi dan PSI menjadi tertuduh sebagai dalangnya.

Tahun 1962 ketika Syahrir, Prawoto, Soebadio, Sultan Hamid dan Muhammad Roem di penjara di Madiun karena dituduh akan menggulingkan Soekarno, terpaksa Machmud Yunus untuk beberapa saat mengungsi sampai keluar negeri (Malaysia, Filipina bahkan sampai Selandia Baru) guna menghindari penangkapan. Karena tempat persembunyian orang-orang PSI di Cimahi dan Dawuhan Cikampek dirasa tidak aman.

Namun demikian, sebagai orang politik, bagi Machmud Yunus soal penangkapan dan penahanan merupakan hal biasa.

Dia pernah ditahan CPM (Corp Polisi Militer) di Palembang 35 hari, bersama Wedana Ail, Wedana Abdullah dan Wedana Gani pernah juga ditahan CPM di Kota Lahat 14 hari karena dituduh akan mengkudeta pemerintahan di Bengkulu Selatan, ditahan polisi di Bogor selama 7 hari, diinterogasi polisi di Tais Seluma karena mengungkap dugaan korupsi dan terakhir ditahan polisi di Bandung selama 3 bulan karena mengungkap korupsi bantuan luar negeri Peristiwa 1965, berakhir dengan tergulingnya Soekarno dimana Machmud Yunus berada dibelakang gerakan Mahasiswa.

Beberapa kali Soe Hok Gie tokoh demonstran angkatan '66 yang legendaris itu menemui Machmud Yunus di Bogor selama periode tahun 1965-1966. Nama Soe banyak disebut dalam catatan harian Machmud Yunus termasuk tanggal kematiannya di puncak Semeru 16 Desember 1969.

"Yang saya ingat Soe Hok Gie jarang senyum, gaya bicaranya berapi-api sambil tangannya bergerak-gerak memutar, fisiknya biasa saja, hidungnya besar, yang pasti tidak setampan Nicholas Saputra dalam film Gie", ujar Ida Etikawati sambil tertawa. Waktu itu Ida Berumur 13 tahun, dia anak kedua Machmud Yunus. Lain lagi cerita Ria Suminar anak ke 4 Machmud Yunus, dia ternyata pengagum berat Soe Hok Gie "Melalui pendidikan yang berat di tengah hutan belantara akhirnya saya dinyatakan lulus sebagai anggota Kampala (Pencinta Alam tertua di Universitas Bengkulu) tahun 1984, tekad saya kuat meski prosesnya sangat berat sebab saya terinspirasi Soe Hok Gie, pendaki gunung sejati yang sering diceritakan ayahnya," ujarnya dalam wawancara Agustus lalu.

Sebenarnya bukan hanya Soe Hok Gie yang sering disebut oleh Machmud Yunus sebagai sosok yang banyak memberikan sumbangsih pada bangsa. Dalam catatan hariannya dia menyebut pula banyak figur keturunan Tionghoa yang mengharumkan nama bangsa, misalnya Tan Joe Hoek (Hendra Kartanegara pemain bulu tangkis tahun 1950-an), Phoa Sian Loang (Januar Pribadi pemain bola kaki tahun 1950-an) dan Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay tokoh Pembauran Keturunan Tionghoa di Indonesia).

Hal ini membuktikan bahwa perspektif ke-Indonesia-an Machmud Yunus tidak dibatasi sekat suku dan agama. Diawal Orde Baru hubungan PSI dengan Soeharto sangat dekat, beberapa tokoh PSI yang sempat "buron" keluar negeri karena peristiwa PRRI diangkat jadi Menteri misalnya Soemitro Joyohadikoesumo.

Karena Machmud Yunus dipandang menguasai ilmu intelijen karena pernah bertugas di Seksi PMC/Penyidik Militer Chusus/Intel dibawah Letnan Muda Mohtar Yara di Palembang, (sumber lain menyebutkan bahwa dia alumni pertama pendidikan intelijen di pulau Saipan Filipina tahun 1952 kerjasama Indonesia-CIA) dia mendapat tugas khusus dan berat, dia dikirim ke Lembah Baliem Irian Jaya (sekarang Papua) untuk mempersiapkan Papera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 dengan target supaya Papua tetap menjadi bagian NKRI.

Tapi hubungan mesra orang PSI dengan Soeharto jugo mengalami pasang- surut, Mochtar Lubis pemilik koran Indonesia Raya gencar menyorot isu korupsi pada pemerintahan Orde Baru ditambah lagi koran Indonesia Raya dituduh bertanggung-jawab atas terjadinya kerusuhan Malari anti modal asing 15 Januari 1974. Akibatnya, pada 22 Januari 1974 terjadi pembreidelan koran Indonesia Raya oleh Soeharto, disusul dengan penangkapan terhadap Mochtar Lubis, saat itu Machmud Yunus juga diburu aparat karena dianggap "komplotan" Mochtar Lubis.

Setelah peristiwa itu banyak orang PSI yang 'tiarap' termasuk Machmud Yunus, dia memindahkan keluarganya dari Bogor ke Bengkulu tepatnya di Desa Karang Tinggi Bengkulu Tengah, membangun rumah kecil dilahan 2 hektar yang berisi tanaman kopi dan buah-buahan ditemani Chadijah sang istri tercinta yang dinikahinya tahun 1949.

Turut serta anak-anaknya yaitu Mitha Rahmasuri, Ria Suminar, Lis Amalia, Shinta Sukmawati. Sementara Ida Etikawati dan Susi Wijaya memilih tetap di Bogor. Tak ketinggalan 1000 lebih koleksi bukunya juga turut dibawa. Meskipun sudah pindah ke Bengkulu tapi dia sering berpergian keluar kota seperti Palembang, Jakarta dan Lampung namun anak-anaknya tidak tahu persis apa yang dikerjakannya. Jika sedang berada di Bengkulu, hampir setiap bulan Machmud Yunus berkirim surat pada anak cucunya di Bogor termasuk menceritakan kesedihannya ketika anjing kesayangannya yang bernama King mati ditabrak mobil serta Panda dan Rambo yang mati keracunan, untunglah anaknya yang lucu-lucu yang diberinya nama Molly, Coreng dan Maru dapat diselamatkan.

Kategori :