Antara Masa Depan Hutan dan Ekonomi Masyarakat

Senin 06-08-2018,11:10 WIB
Reporter : Redaksi Terkini
Editor : Redaksi Terkini

PAGI itu, Rabu (1/8/2018) jam menunjukkan pukul 08.23 WIB, dengan menumpang kendaraan Pickup yang cukup gesit dan bertenaga, Bengkulu Ekspresss bersama tim dari Yayasan Genesis Bengkulu dan Pundi Sumatera memasuki jalanan setapak yang cukup terjal penuh bebatuan koral bercampur tanah merah menuju kawasan lokasi perkebunan kelapa sawit bekas hak guna usaha (HGU) milik PT Daria Dharma Pratama (PT. DDP) di Desa Air Berau Kecamatan Pondok Suguh Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu.

Butuh waktu lebih kurang 1 jam untuk sampai ke lokasi ini.  Di sekitar lokasi terlihat beberapa pohon kelapa sawit yang telah tumbang akibat digesek oleh gergaji mesin bahkan beberapa pohon kelapa sawit telah disuntik racun hingga membuat daun kuning mengering dan hanya menunggu waktu untuk tumbang dengan sendirinya.

Tumbang dan mengeringnya puluhan ribu pohon kelapa sawit memang sengaja dilakukan oleh pemerintah setempat. Hal ini lantaran perusahaan perkebunan sawit menanam kelapa sawit di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh 2.

\"Sawitnya sebagian masih hidup sebagian lagi sudah mati disuntik racun karena masuk wilayah HPT,\" kata Manalu, salah satu warga yang tinggal dikawasan tersebut.

Meski telah dinyatakan sebagai kawasan HPT, namun tetap saja beberapa warga sekitar juga ikut merambah. Berhektar-hektar lahan telah ditanami kelapa sawit, hingga menjadikan lokasi tersebut saat ini telah penuh dengan tanaman asli Afrika. Pemicu banyaknya masyarakat mulai menanam di kawasan HPT, disebabkan oleh ketersediaan lahan pertanian yang saat ini telah minim. Sehingga jika tidak menanam kelapa sawit di HPT, rasanya tidak ada lahan lagi untuk berkebun dan bercocok tanam mengingat 71 persen lahan di wilayah Mukomuko telah dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit.

\"Kami punya 4 perusahaan kelapa sawit diantara PT DDP, BMK, IGS, dan MIL. Semua PT tersebut menguasai perkebunan kelapa sawit diluar HPT. Kalau kami tidak masuk ke kawasan HPT maka tidak akan dapat mengisi perut untuk makan,\" ujar Dedi (27) salah satu warga desa Lubuk Bento pemekaran dari desa Air Berau.

Persoalan ekonomi digadang-gadang sebagai salah satu pemicu yang membuat masyarakat mengubah HPT menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan luas perkebunan masyarakat diwilayah HPT diketahui telah mencapai kurang lebih 800 hektar (ha). Jumlah tersebut lebih tinggi dari total lahan bekas HGU milik PT DDP yang masuk ke kawasan HPT yang mencapai 371 ha sejak 1994 lalu.

Warga Desa Lubuk Bento, Abu Naim (62) mengaku, luasnya perkebunan masyarakat di kawasan HPT disebabkan ketidaktahuan masyarakat mana hutan adat ataupun HPT. Hal ini disebabkan tidak ada plang merek ataupun patok pembatas pada 1983 silam. Namun pada tahun 2000 plang merek dan patok baru terpasang dan membuat hampir seluruh kebun kelapa sawit milik warga dinyatakan masuk kawasan HTP.

\"Tanah sudah mulai habis dan ternyata tanah kami masuk HPT. Harapan kami masyarakat boleh mengelola HPT dengan ditanami sawit, karena disanalah hidup masyarakat,\" tutur Naim.

Meski begitu, Pemerintah tetap melarang masyarakat untuk menanam kelapa sawit di kawasan HPT karena bukan tanaman kayu tetapi perkebunan. Untuk itu, Kepala Desa Lubuk Bento, Napir (50) meminta izin kelola kawasan kepada Pemerintah melalui Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Mukomuko, selaku pemegang izin kawasan. Sebab jika masyarakat dibatasi maka akan ada 287 keluarga didesanya kehilangan mata pencarian belum lagi empat desa lainnya yang berada kawasan tersebut yaitu desa Karya Mulya, Tunggang, Pondok Kandang, dan Air Berau.\"Walaupun tidak bisa dibebaskan, kami berharap izin kelola di HPT bisa didapatkan, karena disanalah sumber penghasilan masyarakat desa,\" tutur Napir.

Keuntungan masyarakat menanam kelapa sawit setiap hektare bisa menghasilkan buah segar berkisar tiga hingga lima ton per satu kali panen, bila dijual dengan harga Rp1.300 per kilogram, petani mampu menghasilkan Rp 6 juta per bulan. Dengan perhitungan tersebut, maka petani lebih memilih menanam kelapa sawit meskipun lahannya hanya satu hektare, bila dibandingkan menanam tanaman lainnya.

\"Tetapi izin pengelolaan kawasan HPT hanya memperbolehkan menanam tanaman berkayu sehingga cukup sulit bagi masyarakat desa untuk menerimanya,\" terang Napir.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Yayasan Genesis Bengkulu yang  didukung oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera meminta dispensasi kepada KPHP Mukomuko agar masyarakat diberi izin pengelolaan kawasan HPT untuk mengelola kelapa sawit dalam jangka waktu tertentu sekaligus melakukan restorasi dengan menanam kembali tanaman berkayu di wilayah HPT yang telah ditanami kelapa sawit.

Beberapa jenis tanaman kayu yang akan ditanam dikawasan HPT meliputi pohon pala, durian, jengkol dan tanaman berkayu lainnya. \"Kami meminta dispensasi kepada KPHP Mukomuko memberikan pengelolaan kelapa sawit kepada masyarakat untuk sementara waktu agar masalah konflik tenurial yang terjadi bisa cepat teratasi,\" ujar Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian.

Konflik tenurial (lahan) yang telah terjadi sejak 2017 lalu ini telah melahirkan konflik antar masyarakat. Kawan berubah menjadi lawan. Bahkan hubungan keluarga tanpa disadari ternegasikan. KPHP Mukomuko akhirnya melunak untuk meredam permasalahan ini. Masyarakat desa setempat boleh mengelola HPT tetapi dengan pola kemitraan melalui skema perhutanan sosial. Penyuluh KPHP Mukomuko, Sri Mulyanti mendukung, semua kegiatan positif yang tujuan untuk mensukseskan perhutanan sosial di Kabupaten Mukomuko. Pihaknya mendorong masyarakat setempat untuk memanfaatkan kawasan HTP dikelola secara baik dengan skema pembentukan kelompok tani.

\"Sebagai dispensasi masyarakat boleh mengelola sawit di HPT Eks perkebunan sawit PT DDP, tetapi hanya dalam jangka waktu 12 tahun, setelah 12 tahun pohon kelapa sawit wajib ditebang,\" ujar Sri.

Pemberian dispensasi tersebut tidak serta merta membiarkan masyarakat melupakan kewajibannya untuk menanam tanaman berkayu di kebun sawit miliknya. Genesis Bengkulu telah melakukan pembibitan tanaman kayu di desa Lubuk Bento sebanyak 10.000 bibit terdiri dari jengkol, durian dan pala. Hal ini sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi hutan agar kembali lestari dan juga sebagai sumber penghasilan masyarakat sekitar. \"Kami berusaha merestorasi kawasan HTP agar lestari, selain itu nantinya tanaman seperti pala, durian dan lainnya setelah berbuah akan menjadi penghasilan baru bagi masyarakat sekitar,\" tutup Kepala KPHP Mukomuko, Ir Bakhdal.

Luasnya kawasan perbunan sawit di Kabupaten Mukomuko berdampak pada semakin menurunnya kuantitas debit air termasuk di Desa Lubuk Bento dan sekitarnya. Saat ini kondisi air tidak lagi sama sebelum perkebunan sawit memasuki dataran yang sempat hijau dengan jutaan pohon hutan hujan tropis.

Tokoh Masyarakat Desa Lubuk Bento, Maridun (79) sempat merasakan air begitu melimpah didesanya, bahkan saat itu kondisi air sungai didesanya yang sempat menutupi dasar sungai sudah terlihat dangkal. Bukan hanya aliran sungai yang semakin dangkal, sumur-sumur masyarakat sekitar juga ikut semakin dalam dibuatnya. \"Debit air pada 1966 masih luar biasa, kalau sekarang setelah ditanam sawit airnya sudah sedikit, sumur saja dalamnya sudah 15 meter, kalau dulu cuma 6 meter\" tutur Maridun.

Penurunan debit air juga berdampak pada salah satu objek wisata tersembunyi didesa tersebut, air terjun mandi angin. Saat ini disekitar lokasi sungai yang mengarah ke air terjun telah ditanami kelapa sawit. Luasnya perkebunan kelapa sawit rupanya mampu menyedot secara perlahan air yang ada disungai. Jika ini dibiarkan secara terus menerus maka sungai disekitar perkebunan hanya tinggal cerita. \"Kami tidak tau kalau ternyata kebun sawit bisa menyedot habis air disungai,\" ujar Maridun.

Beberapa penelitian ilmiah membuktikan bahwa satu pohon kelapa sawit mampu menyedot 20 sampai 40 liter air perhari, dan dapat menyedot air sampai kedalaman 5,2 meter. Jika seluruh lahan HPT ditanami kelapa sawit maka bisa dipastikan sungai disekitar perkebunan sawit akan semakin mengering tak tersisa. \"Saya berharap jangan sampai air terjun mandi angin kering karena itu merupakan peninggalan puyang kami,\" tukas Maridun.(999)

Tags :
Kategori :

Terkait