Masa Kecil Ichwan Yunus Di Kampung Halaman (Bagian 6)
Terus Gagal, Ichwan Pamit Melanjutkan Sekolah ke Bengkulu Ichwan pernah pula mencoba mengerjakan pekerjaan ayahnya sebagai pandai besi, membuat parang, arit, cangkul dan sebagainya. Namun lagi-lagi ia mengalami kegagalan, tidak penah Ichwan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, membuat parang atau arit misalnya, selalu diselesaikan oleh orang tuanya. Begitu pula dengan pekerjaan berdagang yang pernah dijalani oleh Ichwan ketika masih kecil, tidak penah mendatangkan keuntungan yang maksimal, kalaupun tidak mengalami kerugian. Sebagai seorang pandai besi, orang tua Ichwan rutin pergi ke pekan untuk memasarkan hasil kerajinannya seperti pisau, arit, cangkul dan Iain sebagainya. Hasil penjualan itu biasanya langsung dibelanjakan bahan-bahan kebutuhan pokok untuk dijual kembali di desanya. Disinilah peran Ichwan dan saudara-saudaranya membantu memasarkan dagangan orang tuanya. Tanpa dibebani rasa malas, malu atau pun minder, Ichwan dengan semangatnya berjalan kaki hilir mudik sepanjang desanya menjajakan sayuran, buah-buahan dan kebutuhan pokok lainnya yang dibeli orang tuanya di pekan. Ada kebiasaan Ichwan yang tidak Iazim dilakukan oleh seorang pedagang, yakni rasa iba/kasihan dan toleransi yang tinggi terhadap pembeli. Belakangan baru disadari oleh Ichwan bahwa kebiasaan tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa dia tidak cocok untuk berdagang. Satu saat Ichwan menjajakan pisang yang masih mengkal (setengah mateng). Seseorang yang tidak lain adalah gurunya sendiri, bermaksud membeli sesisir pisang dengan harga yang telah ditetapkan. Maka tanpa berpikir panjang Ichwan memberikan dua sisir pisang buat sang guru. Sama sekali bukan bermaksud untuk mengambil hati supaya disenangi oleh sang guru, bukan karena takut dan bukan pula karena rasa hormat yang berlebihan pada guru, akan tetapi hanya karena rasa kasihan, karena Ichwan tahu persis bahwa sesisir pisang tidak mungkin cukup untuk keluarga pak guru itu, sedangkan uang yang dimiliki pak guru kemungkinan hanya mampu untuk membeli sesisir pisang saja. Demikian kebiasaan Ichwan dalam berdagang, memberikan diskon atau pun bonus kepada siapa saja yang dikasihaninya. Secara fisik Ichwan juga merasa banyak ketidakcocokan dengan apa yang biasa dikerjakan masyarakat sebagai petani di desanya. Ichwan pernah mencoba membantu orang tuanya ngetam (menuai padi di sawah), baru saja ia memulai pekerjaan tersebut tangannya terasa gatal, lama-lama sekujur tubuhnya terasa gatal. Mula-mula Ichwan dan begitu pula orang tuanya mengira gatal-gatal yang diderita Ichwan tersebut hanya karena tidak terbiasa saja. Oleh karenanya Ichwan berusaha beberapa kali mencoba dan mencobanya lagi, tetapi masih saja ia merasakan hal yang sama. Ichwan juga sering membantu orang tuanya mencangkul di sawah, akan tetapi karena mungkin pekerjaan ini tergolong berat, maka Ichwan cepat sekali merasa capek, paling lama bisa bertahan 10 menit sudah istirahat, begitulah selanjutnya setiap 10 menit bekerja istirahat lagi. Apapun alasan dan penyebabnya, yang jelas hampir semua usaha dan pekerjaan yang pernah Ichwan jalani semasa kecil di desanya, selalu saja membuat ia kecewa karena tidak membuahkan hasil yang maksimal. Walaupun dari segi umur, belum memungkinkan ia untuk berpikir terlalu jauh akan masa depannya, tapi kondisi demikian membuat Ichwan merasa bosan dan tidak betah di kampung halamannya. Alam pedesaan tempat tumpah darahnya sendiri seolah tidak bersahabat dengannya. Sudah lama sakali Ichwan menyimpan perasaan ini, tapi ia tidak tahu mau curhat kepada siapa, dimana dan kapan? Saat memasuki kelas VI SR kegundahan itu semakin kuat karana tidak banyak lagi waktu ia berpikir dan memutuskan hendak kemana ia setelah lulus sekolah nanti. Pada suatu hari Ichwan membantu pekerjaan ayahnya mencangkul di sawah, seperti biasanya Ichwan sangat tidak menyukai pekerjaan ini, paling bisa bertahan 10 menit, ia sudah merasa capek lalu istirahat. Setelah itu baru ayahnya menyusul karena memang sudah saatnya istirahat. Di saat istirahat itulah Ichwan mencurahkan isi hatinya kepada sang ayah dengan kata—kata yang singkat dan jelas. Ia bertutur kepada sang ayah, bahwa pekerjaan-pekerjaan sebagai layaknya dilakukan oleh orang desa seperti dia, walaupun selama ini tetap dikerjakannya, tapi sesungguhnya tidak cocok buatnya. Lalu ia meminta pertimbangan kepada ayahnya, bagaimana nanti jika telah menamatkan sekolah SR di desanya, ia pergi saja merantau ke Bengkulu untuk melanjutkan sekolahnya. Sebagai seorang ayah yang merasa berkewajiban mendorong dan mendukung cita-cita anaknya, maka ia menjawab dengan singkat pula. “Silahkan saja kalau memang ingin melanjutkan sekolah ke Bengkulu, dengan catatan mau bersungguh-sungguh dan tahan hidup prihatin, karena kamu tahu sendiri keadaan ekonomi keluarga kita yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Bapak tidak mempunyai uang untuk membiayai sekolah dan hidup kamu nanti.’’ Demikian salah satu penggalan kata-kata sang ayah yang diingat oleh Ichwan. Mendapatkan lampu hijau dari ayahnya ini, Ichwan semakin bersemangat belajar dan seakan tidak tahan lagi menunggu saat-saat itu tiba. Belakangan setelah ia bekerja dan berhasil dalam karirnya, Ichwan baru menyadari bahwa keberhasilan yang dicapainya adalah sebagai hikmah dari kegagalan yang sering dialami pada masa kecilnya. Andaikan ketika itu apa saja yang ia usahakan dan kerjakan selalu berhasil dengan baik, maka sudah pasti ia akan keenakan dan terlena, lalu tidak mau meninggalkan kampung halamannya, dan dengan demikian juga sudah bisa dipastikan ia akan menjadi seorang petani atau si pandai besi melanjutkan profesi orang tuanya.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: