BENGKULU, BE - Akar Foundation, kelompok atau organisasi yang fokus pada isu-isu lingkungan, pengelolaan SDM dan SDA adat, bekerja sama dengan Epistema Institute, Qibar Padang, dan HuMa menggelar acara bedah buku. Buku yang dibedah berjudul \"Bersiasat dengan Hutan Negara\" yang ditulis oleh Mora Dingin. Buku ini membahas masalah hutan yang telah lama dimiliki masyarakat dan sekarang menjadi milik negara. Buku kedua yang dibedah berjudul \"Adat Ditangan Pemerintah Daerah\" yang ditulis oleh Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah, yang membahas kewajiban pemerintah daerah untuk mengakui hutan adat yang ada di Indonesia serta peraturan-peraturan pemerintah yang mendukung.
Acara bedah buku yang digelar pada hari Rabu (30/4) di ruang rapat 1 Rektorat Unib ini, dihadiri berbagai aktivis lingkungan, dengan narasumber antara lain; Sumarto (Dosen Unib), Luluk Uliyah (Epistema Institute), Mora Dingin (Direktur Qibar Padang) dan M. A Prihatno (Akar Bengkulu).
Dalam kesempatannya, penulis Mora Dingin menyampaikan penyebab terjadinya konflik hutan antara pemerintah dan masyarakat yang mengakui hutan adat adalah rentetan konflik sejak zaman penjajah, adanya deklarasi kepemilikan, munculnya beberapa kebijakan pertanahan dan kehutanan, klaim masyarakat adat atas hutan serta klaim pemerintah berdasarkan kebijakan secara formal.
Sedangkan Luluk Uliyah menyampaikan dalam pembuatan bukunya bertujuan, bagaimana menjadikan wilayah adat senyatanya diakui dan membantu pemerintah daerah untuk mewujudkan pengakuan tersebut, serta peraturan pemerintah yang telah dibuat untuk hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat yang belum mempunyai kesepakatan yang jelas tentang persoalan ini.
\"Pihak pemerintah mengatakan yang tidak memiliki surat tanah seutuhnya milik negara. Sementara di satu pihak, di hutan adat, tidak memiliki apa yang diinginkan pemerintah, karena mereka telah memiliki tanah sejak nenek moyang terdahulu,\'\' jelas Sumarto, yang membedah buku karya Mora Dingin.
Buku ini mempuyai isi yang sangat penting. \"Buku ini menyampaikan tidak bisa lagi hanya sebatas urusan masyarakat adat itu sendiri yang berjuang menunggu hak-hak nya atas hutan adat, tetapi sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah, karena judul buku ini menggambarkan semangat hidup, dimana definisi-definisi hukum sudah sangat kontroversial,\" jelas MA Prihatno, yang membedah buku karya Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah.
Dalam bedah buku ini, semuanya bersepakat bahwa hutan adat sudah sewajarnya menjadi hutan masyarakat adat di mana peraturan perundang-undangan serta keputusan MK sudah ada. (cw4)